foto : pers
Oleh : Fakhrul
Matsani
(Presiden
Mahasiswa Universitas Respati Yogyakarta)
Sidang
paripurna yang di gelar DPR RI hari Jum’at tanggal 13 Juli 2012 adalah untuk
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUUPT). RUUPT yang mengalami banyak kontroversi
bahkan penolakan ngotot untuk disyahkan pemerintah. Sehingga hal demikian
memunculkan banyak protes dimana-mana, termasuk didalamnya adalah sebagian
besar dari elemen-elemen pendidikan tinggi di Indonesia.
Dilandasi
keinginan pemerintah Indonesia agar generasi Indonesia siap menghadapi
globalisasi dengan mempertahankan moral bangsa, dimana untuk mewujudkan hal
tersebut dibutuhkan kemandirian dan kemampuan Perguruan Tinggi untuk otonom,
pemerintah dalam UU BHP yang dilandasi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Namun
upaya tersebut gagal lantaran ketika diuji materiil oleh MK pada 2010 silam, UU
BHP tidak sesuai dengan nilai dasar dalam konstitusi yaitu UUD 1945.
UU
BHP yang disinyalir merupakan bagian intimdasi dari world bank untuk memisahkan
Perguruan Tinggi dan pengelolaan negara agar kemudian dapat diperdagangkan.
Namun Pemerintah tidak kehabisan akal, pasca gugurnya UU BHP, World Bank melangsir sebuah dokumen baru yang
menargetkan munculnya kebijakan baru pengganti BHP, yang tak lain tak
bukan adalah RUU PT.
Proses
Pengesahan RUUPT sangat bertolak belakang dengan UU Sisdiknas Pasal 24 ayat
(4) yang mengatur bahwa ” ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai mana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah”. Hal
ini nantinya akan menimbulkan dualisme hukum dalam dunia pendidikan, yang
dimana seharusnya RUUPT hanyalah berbentuk Peraturan Pemerintah.
Selain
itu dari segi substansi pasal demi pasal yang ada dalam RUU PT banyak ditemui
kejanggalan-kejanggalan yang dimana hal itu tidak sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia, diantaranya adalah : pada pasal 65 tentang PTN BH, yang
mengindikasikan akan legalisasi BHMN yang walaupun secara tidak langsung
berhubungan dengan Kenaikan Biaya Pendidikan, namun hal ini berarti bahwa akan
terjadi pemisahan keuangan Perguruan Tinggi dengan keuangan negara, yang
berarti pula otonomi non akademik, dalam hal ini otonomi keuangan. Nantinya negara
tidak boleh ikut campur, selain hanya sebagai pemegang saham dalam keuangan
perguruan Tinggi tersebut, yang jika di logikakan seharusnya negaralah yang
menjadi penanggung jawab penuh terhadap dunia pendidikan. Pasal 76 ayat 2 C
tentang sistem student loan yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang
kurang mampu secara ekonomi. Hal ini bertentangan dengan semangat tujuan
bernegara Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pasal 31 ayat 1 UUD
1945 (hak warganegara terhadap pendidikan), dan Kovenan Hak Ekosob (UU No. 11
Tahun 2005) pasal 13 ayat 2 C (pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma
secara bertahap). Alih-alih berusaha menanggung biaya atas pendidikan, negara
justru memberikan pinjaman yang berarti pula melepaskan tanggungjawabnya.
Kemudian
hal lain yang di takutkan dalam RUUPT ini adalah Komersialisasi pendidikan
dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru yang bisa dilakukan melalui
bentuk lain selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Bentuk lain ini rentan
dan telah terbukti menjadi lahan komersialisasi pendidikan di mana secara tidak
langsung juga menyeleksi mahasiswa secara ekonomi dan juga menjadi ladang
perguruan tinggi meraup keuntungan dari calon mahasiswanya.
Pasal
74 tentang pengkuotaan 20% bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal
ini rentan menjadi dalih bagi perguruan tinggi untuk berlepas tangan setelah
memenuhi kuota mahasiswa kurang mampu tersebut. Lagipun, seharusnya seleksi
masuk sama sekali tidak memperhatikan kemampuan atau ketidakmampuan secara ekonomi,
melainkan hanya menyeleksi kemampuan akademik.
Pada
Pasal 90 tentang Internasionalisasi. Di negara-negara dunia pertama, pendidikan
tinggi adalah sebuah bisnis yang sangat besar yang menyumbang pemasukan yang
sangat besar pula bagi APBN. Kehadiran perguruan tinggi negara lain di
Indonesia, selain berpotensi tidak akan menanamkan nilai-nilai keIndonesian dan
justru menanamkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan keIndonesiaan, patut diposisikan
sebagai sebuah ekspansi bisnis mengingat potensi pasar yang sangat besar di
Indonesia sebagai negara dunia ketiga dan sepinya pesaing. PTS akan tergeser,
dan skema liberalisasi GATS (General
Agreements on Trade in Services) akan mulai dijalankan. Pendidikan benar-benar
dilihat sebagai jasa yang bisa dijual dan dibeli, bukan lagi hak warga negara
yang harus dipenuhi oleh negaranya sesuai tujuan bernegara dan UUD 1945.
Dengan
Demikian bahwa sudah sangat jelas RUU PT benar-benar tidak memihak kepada
kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan-kepentingan lain yang akan
berimbas kepada Naiknya biaya pendidikan, terpinggirkannya PTS_PTS karena harus
bersaing dengan PT_PT lain yang ada di dunia, akses untuk mendapatkan
pendidikan akan tereksklufif hanya untuk mereka yang “Bepunya” dan sulitnya
untuk mengakses pendidikan.
Sehingga
dengan ini mari kita tolak RUU PT, Hentikan liberalisasi dan komersialisasi
pendidikan, kembalikan pendidikan indonesia yang sesuai dengan UUD 45 dan
wujudkan pendidikan yang gratis bagi seluruh rakyat INDONESIA.
SALAM MAHASISWA
SALAM RAKYAT
INDONESIA
(red/MENKOMINFO)
(red/MENKOMINFO)