Sabtu, 14 Juli 2012

RUU PERGURUAN TINGGI LUMBUNG KOMERSIALISASI PENDIDIKAN


foto : pers 

Oleh : Fakhrul Matsani
(Presiden Mahasiswa Universitas Respati Yogyakarta)
Sidang paripurna yang di gelar DPR RI hari Jum’at tanggal 13 Juli 2012 adalah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUUPT).  RUUPT yang mengalami banyak kontroversi bahkan penolakan ngotot untuk disyahkan pemerintah. Sehingga hal demikian memunculkan banyak protes dimana-mana, termasuk didalamnya adalah sebagian besar dari elemen-elemen pendidikan tinggi di Indonesia.

Dilandasi keinginan pemerintah Indonesia agar generasi Indonesia siap menghadapi globalisasi dengan mempertahankan moral bangsa, dimana untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kemandirian dan kemampuan Perguruan Tinggi untuk otonom, pemerintah dalam UU BHP yang dilandasi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Namun upaya tersebut gagal lantaran ketika diuji materiil oleh MK pada 2010 silam, UU BHP tidak sesuai dengan nilai dasar dalam konstitusi yaitu UUD 1945.

UU BHP yang disinyalir merupakan bagian intimdasi dari world bank untuk memisahkan Perguruan Tinggi dan pengelolaan negara agar kemudian dapat diperdagangkan. Namun Pemerintah tidak kehabisan akal, pasca gugurnya UU BHP,  World Bank melangsir sebuah dokumen baru yang menargetkan munculnya kebijakan baru pengganti BHP, yang tak lain tak bukan  adalah RUU PT.

Proses Pengesahan RUUPT sangat bertolak belakang dengan UU Sisdiknas Pasal 24 ayat (4)  yang mengatur bahwa ” ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai mana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah”. Hal ini nantinya akan menimbulkan dualisme hukum dalam dunia pendidikan, yang dimana seharusnya RUUPT hanyalah berbentuk Peraturan Pemerintah.

Selain itu dari segi substansi pasal demi pasal yang ada dalam RUU PT banyak ditemui kejanggalan-kejanggalan yang dimana hal itu tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, diantaranya adalah : pada pasal 65 tentang PTN BH, yang mengindikasikan akan legalisasi BHMN yang walaupun secara tidak langsung berhubungan dengan Kenaikan Biaya Pendidikan, namun hal ini berarti bahwa akan terjadi pemisahan keuangan Perguruan Tinggi dengan keuangan negara, yang berarti pula otonomi non akademik, dalam hal ini otonomi keuangan. Nantinya negara tidak boleh ikut campur, selain hanya sebagai pemegang saham dalam keuangan perguruan Tinggi tersebut, yang jika di logikakan seharusnya negaralah yang menjadi penanggung jawab penuh terhadap dunia pendidikan. Pasal 76 ayat 2 C tentang sistem student loan yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini bertentangan dengan semangat tujuan bernegara Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pasal 31 ayat 1 UUD 1945 (hak warganegara terhadap pendidikan), dan Kovenan Hak Ekosob (UU No. 11 Tahun 2005) pasal 13 ayat 2 C (pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap). Alih-alih berusaha menanggung biaya atas pendidikan, negara justru memberikan pinjaman yang berarti pula melepaskan tanggungjawabnya.

Kemudian hal lain yang di takutkan dalam RUUPT ini adalah Komersialisasi pendidikan dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru yang bisa dilakukan melalui bentuk lain selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Bentuk lain ini rentan dan telah terbukti menjadi lahan komersialisasi pendidikan di mana secara tidak langsung juga menyeleksi mahasiswa secara ekonomi dan juga menjadi ladang perguruan tinggi meraup keuntungan dari calon mahasiswanya.

Pasal 74 tentang pengkuotaan 20% bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini rentan menjadi dalih bagi perguruan tinggi untuk berlepas tangan setelah memenuhi kuota mahasiswa kurang mampu tersebut. Lagipun, seharusnya seleksi masuk sama sekali tidak memperhatikan kemampuan atau ketidakmampuan secara ekonomi, melainkan hanya menyeleksi kemampuan akademik. 

Pada Pasal 90 tentang Internasionalisasi. Di negara-negara dunia pertama, pendidikan tinggi adalah sebuah bisnis yang sangat besar yang menyumbang pemasukan yang sangat besar pula bagi APBN. Kehadiran perguruan tinggi negara lain di Indonesia, selain berpotensi tidak akan menanamkan nilai-nilai keIndonesian dan justru menanamkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan keIndonesiaan, patut diposisikan sebagai sebuah ekspansi bisnis mengingat potensi pasar yang sangat besar di Indonesia sebagai negara dunia ketiga dan sepinya pesaing. PTS akan tergeser, dan skema liberalisasi GATS  (General Agreements on Trade in Services) akan mulai dijalankan. Pendidikan benar-benar dilihat sebagai jasa yang bisa dijual dan dibeli, bukan lagi hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negaranya sesuai tujuan bernegara dan UUD 1945.

Dengan Demikian bahwa sudah sangat jelas RUU PT benar-benar tidak memihak kepada kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan-kepentingan lain yang akan berimbas kepada Naiknya biaya pendidikan, terpinggirkannya PTS_PTS karena harus bersaing dengan PT_PT lain yang ada di dunia, akses untuk mendapatkan pendidikan akan tereksklufif hanya untuk mereka yang “Bepunya” dan sulitnya untuk mengakses pendidikan.

Sehingga dengan ini mari kita tolak RUU PT, Hentikan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, kembalikan pendidikan indonesia yang sesuai dengan UUD 45 dan wujudkan pendidikan yang gratis bagi seluruh rakyat INDONESIA.

SALAM MAHASISWA
SALAM RAKYAT INDONESIA

(red/MENKOMINFO)